Jumat, 22 Februari 2013

Wayang Suket

Slamet Gundono (Dalang Wayang Suket)

Wayang Suket

Wayang suket merupakan bentuk tiruan dari berbagai figur wayang kulit yang terbuat dari rumput (bahasa Jawa: suket). Wayang suket biasanya dibuat sebagai alat permainan atau penyampaian cerita perwayangan pada anak-anak di desa-desa Jawa.
Untuk membuatnya, beberapa helai daun rerumputan dijalin lalu dirangkai (dengan melipat) membentuk figur serupa wayang kulit. Karena bahannya, wayang suket biasanya tidak bertahan lama.Kemasyhuran wayang rumput Mbah Gepuk dari pelosok Purbalingga, Jawa Tengah, lebih dari satu dasawarsa terakhir perlahan memudar seiring dengan mangkatnya sang maestro. Kini, di tangan Badriyanto, cucunya, anyaman klasik dari pedalaman itu kembali dijalin.
Wayang rumput, atau suket dalam bahasa Jawa, karya cipta Mbah Gepuk pada 1995 pernah kondang di Nusantara. Atas karyanya itu,

Mbah Gepuk dianggap maestro asal Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Ia lalu kerap diundang untuk tampil berpameran, termasuk di Bentara Budaya Yogyakarta dan Jakarta.
Wayang Suket terbuat dari anyaman rumput kasuran yang menjadi gulma tanaman lain. Namun, meninggalnya Mbah Gepuk yang bernama asli Kasanwitkrama pada tahun 1997 seolah menghapus kenangan orang pada wayang suket.Seiring dengan berjalannya waktu, Badriyanto menjadi satu-satunya ahli waris ilmu membuat wayang suket dari Mbah Gepuk. Badriyanto merupakan cucu dari Mbah Gepuk yang mewarisi keahlian membuat Wayang Suket. Dorongan untuk mewarisi keahlian membuat wayang suket dari sang kakek baru muncul ketika Badriyanto menginjak bangku kelas II madrasah tsanawiyah. Serupa dengan sang kakek, Badriyanto pun dianggap orang sekitarnya sebagai sosok bersahaja meski punya kemampuan yang relatif langka.
Badriyanto memilih berkarya dalam sunyi. Setelah menikahi, dia tinggal bersama mertuanya di rumah sederhana di Desa Wlahar, Kecamatan Rembang. Lokasi rumah itu sekitar 5 kilometer dari rumah sang kakek.Meski kakeknya sudah meninggal, filosofi wejangan Mbah Gepuk dipegangnya teguh. Wejangan itu antara lain agar Badriyanto menjadikan alam sebagai guru kehidupannya.Walau tergolong berusia muda, Badriyanto tetap mempertahankan tata cara pembuatan wayang suket seperti yang diwariskan kakeknya. Rumput yang digunakan hanya bisa menggunakan jenis rumput kasuran yang konon cuma bisa dipanen saat bulan Sura.Setelah dipanen, rumput dijemur hingga kering dan dibedakan berdasarkan ukuran. Rumput kemudian direndam setengah jam, lalu ditiriskan hingga sedikit kering. Hasilnya baru bisa digunakan untuk membuat anyaman wayang suket.Wayang suket karya Badriyanto telah dipamerkan di sejumlah festival seni di Jakarta hingga Bali. Bahkan, beberapa seniman dari Jerman, Belanda, dan Perancis memamerkan wayang buatannya di negara mereka. Terakhir, wayang suket karyanya juga dipamerkan pada National Day of Puppetry di California, Amerika Serikat.Kini pementasan Wayang Suket dipentaskan oleh seorang dalang bernama Slamet Gundono. Sejak tahun 1999, ia mengembangkan Sanggar Wayang Suket di Solo. Di komunitas ini ia melakukan revolusi terhadap dunia wayang dan pedalangan yang oleh banyak pihak dinilai sudah lama mandek. Wayang suket temuannya berada di antara dunia teori teater Barat dan tradisi pewayangan Timur.Pertama kali wayang suket dimainkan pada tahun 1997 di Riau. Tiba-tiba ia harus mementaskan wayang. Padahal, di sana tidak ada wayang kulit. Juga tak ada gamelan. Kebetulan kakak saya punya studio lukis yang terletak ditengah alang-alang sawah. Muncullah pengalaman masa kecil tentang suket. Akhirnya ia memutuskan untuk memakai suket, ia bentuk, ikat, dan gulung menjadi beragam bentuk wayang. Gamelannya pakai mulut, ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”. Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya.Kelebihan wayang suket adalah ruang yang sangat bebas bagi penonton untuk membangun imajinasinya. Hingga ke imajinasi yang tak terbatas.Filosifi suket sebagai sesuatu yang terus tumbuh adalah spirit yang membuatnya bangga. Suket hanya butuh air dan sinar matahari. Kekuatan filosofi ini menggambarkan kekuatan ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya merupakan simbol grass root yang mempertanyakan tentang diri, bukan memberontak atau merusak. Konsep pertunjukannya adalah pelataran seperti lagunya, urip kuwi mung koyo bocah cilik dolanan nang pelataran.Gundono mengemas Wayang Suket secara apik dan unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang diangkatnya bukan sekedar cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, atau Ramayana. Melainkan juga mengangkat kisah-kisah keseharian, termasuk soal aksi peledakan bom atau tentang pemilu.Tak seperti dalang umumnya, ketika tampil Slamet Gundono tidak menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang. Ia biasa tampil dengan pakaian setengah telanjang atau seperti koboi. Media pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk gunungan atau beberapa tokoh. Malah kadang ia menggunakan buah-buahan hasil kebun; seperti cabe, mentimun, tomat, bawang merah, dan lain-lain yang tertancap di batang pisang; jika di panggung.

Selain lakon masternya, “Kelingan Lamun Kelangan”, ada lakon-lakon lain yang digarap Slamet Gundono, antara lain; “Sukesi atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah Banowati” tergantung segmen dan keinginan pasar. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi tontonan yang enak, segar, dan penuh tuntunan.
Melalui wayang suket ini, Gundono sebenarnya ingin membebaskan wayang dari bentuknya yang beku. Pada gilirannya memang bukan hanya suket sebagai media pentas Gundono. Bermacam benda, seperti batu, batok kelapa, ptongan kayu, dan sandal jepit pun bisa menjadi anak wayang, agar penonton kaya imajinasi.

0 komentar:

Posting Komentar